Nina Mariana

Blog Seputar Kesehatan, Obat & Terapi



OpenAI. Digital illustration depicting adverse drug reactions during MDR-TB treatment [AI-generated image]. ChatGPT (GPT-5), 2025.


Indonesia termasuk tiga besar negara dengan jumlah kasus TB-MDR tertinggi di dunia, dengan lebih dari 12.000 kasus baru setiap tahun. Pengobatan TB-MDR sangat menantang dan kini memang semakin efektif berkat regimen baru berbasis obat oral, tanpa suntikan. 



Pasien harus minum banyak obat “lini kedua” selama berbulan-bulan, bahkan hingga dua tahun. Kombinasi obat yang kuat ini memang bisa menyembuhkan, namun, efek samping obat tetap muncul, bahkan berbahaya. Itulah kenyataan yang dijalani pasien tuberkulosis resistan obat (TB-MDR), yaitu jenis TB yang tidak lagi mempan terhadap dua obat lini pertama, yaitu isoniazid dan rifampisin.



Penelitian terbaru (2025) yang dilakukan oleh Mariana N dkk, pada 60 pasien TB MDR yang menjalani pengobatan di tiga RS dan selama 4 bulan dipantau pengobatannya, hasilnya terdapat hampir semua pasien mengalami efek samping. 



Tiga jenis efek samping paling sering yaitu mual muntah (48,3%), nyeri sendi (38,3%), gangguan irama jantung atau pemanjangan QTc pada EKG (30,0%). Efek samping lainnya antara lain sulit tidur, kesemutan, kulit menggelap, hingga anemia



Sebagian besar efek samping tergolong ringan (grade 1), tetapi ada juga yang berat (grade 3), contohnya: gangguan irama jantung berat pada 1 pasien; kejang pada 2 pasien; peningkatan enzim hati pada 1 pasien; beberapa pasien harus diubah regimen pengobatan secara individual karena efek samping tersebut.



Kadang, efek samping tidak bisa dirasakan langsung pasien, membuat pengobatan TB-MDR lebih sulit, dan pasien cepat putus asa sehingga menghentikan pengobatan secara sepihak. Gangguan seperti perpanjangan QTc (irama jantung), anemia, atau gangguan hati hanya bisa diketahui lewat pemeriksaan rutin. Itulah sebabnya pemeriksaan EKG dan laboratorium bulanan menjadi sangat penting.

 


Pasien diharapkan selalu berkonsultasi apabila ada keluhan, dan rutin kontrol ke puskesmas atau RS. Pasien TB-MDR perlu lapor segera jika merasa mual berat, pusing, jantung berdebar, atau pandangan kabur. Tenaga kesehatan perlu memastikan pemeriksaan EKG dan laboratorium rutin dilakukan sesuai jadwal. Pemantauan ketat bisa mencegah pasien putus obat dan meningkatkan peluang sembuh.



Pemantauan aktif sejak awal pengobatan secara individual bisa mencegah masalah serius dan membantu pasien menyelesaikan pebgobatan  sampai tuntas. Pemantauan secara individual artinya bukan saja menyesuaikan regimen obat untuk masing-masing pasien, namun jika diperlukan pemeriksaan lanjutan contohnya pemeriksaan kadar obat dalam darah untuk menilai apakah berhubungan dengan efek samping, selain itu setiap keluhan pasien didengar dan ditindak lanjuti oleh tenaga kesehatan. Pasien yang tidak tahan efek samping sering kali berhenti minum obat di tengah jalan, sehingga risiko kambuh dan penularan meningkat.



Penelitian tersebut juga menyoroti pentingnya pendampingan psikologis dan edukasi pasien agar mereka paham bahwa efek samping bukan tanda gagal pengobatan, melainkan sesuatu yang bisa dikendalikan dengan pengawasan dokter.



Pengobatan TB-MDR memang sulit, tetapi bisa berhasil jika dilakukan pemantauan secara individual yang baik sejak awal. Penelitian ini menegaskan pentingnya peran dokter, perawat, dan farmakolog dalam menjaga keselamatan pasien TB-MDR agar efek samping dapat segera dikenali dan diatasi.


Tuberkulosis efek samping obat 

Sumber:

Mariana N, Gayatri A, Widyahening IS, Bela B, Sawitri N, Soedarsono S, Nelwan EJ, Ascobat P. Adverse drug reactions to the nine-month all-oral and 18-month regimens for multidrug-resistant tuberculosis in Indonesia. Int J Risk Saf Med. 2025;0(0):1–7. doi:10.1177/09246479251370581.




Tidak ada komentar: